Sejumput Kisah dari Tanah Papua, Jejak Trauma Usai Huru-hara


Papua membara tiga pekan lalu. Gelombang protes massal rakyat Papua yang anti-rasis tak jarang berakhir rusuh. Nyaris ada konflik horizontal di dalamnya. Sementara trauma menghinggapi pengungsi Nduga.

HARI MASIH PAGI ketika Abetius Wenda menunggangi dan memacu kuda besinya keluar dari Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Papua. Situasi masih mencekam, setelah malam sebelumnya terjadi huru-hara di kota.

Sang dokter tahu persis, saat jam masih menunjukkan pukul 05.30 WIT, ia hanya membutuhkan waktu 45 menit perjalanan dari rumah sakit ke asrama.

Abetius tak sendirian, Atius temannya membonceng. Berdua, mereka melesat ke asrama mahasiswa Lanny Jaya di Waena, Distrik Heram, Jayapura, Papua.

Baru seperempat perjalanan, tepatnya di depan kantor Polsek Entrop, laju sepeda motor Abetius dan Atius terhenti. Ada massa berkerumun di hadapan mereka, jaraknya hanya selemparan batu.

Para pengadang rata-rata pendatang, bukan orang asli Papua. Abetius sempat berpikir untuk putar balik, tapi gagal, kedua ruas jalan sudah diblokade massa.

“Kamu dari mana?” tanya si pengadang, beramai-ramai.

“Sa dari RSUD,” jawab Abetius, tenang.

“Mau ke mana kalian?“ cecar pengadang.

“Kitong mo pulang ka asrama. Sa dokter ini,” tegas Abetius, ia sudah merasakan ada gelagat tak baik dari para pengadang.

Sedetik kemudian setelah Abetius berbicara, para pengadang tak lagi bertanya, melainkan balok kayu, badik, dan parang mereka beraksi.

“Buk… buk… buk… buk…” para pengadang membabi buta menghajar Abetius dan Atius.

Beberapa orang lain menghujamkan badik ke tubuh Abetius. Satu tusukan mengena di telapak kaki Abetius.

”Kenapa kamorang kas pukol sa, tolong... tolong... Sa ini dokter,” jerit Abetius, panik sekaligus menahan sakit.

Abetius masih sempat beberapa kali berteriak, hingga suaranya tenggelam, kalah oleh bunyi melenting balok kayu dan parang pengadang.

”jleb...” seseorang menyabetkan parang ke paha kanan Abetius.

”Buk... buk... buk...” pengadang lain menghantam Abetius memakai balok. Akibatnya, tangan kiri Abetius patah.

Abetius mencoba menyelamatkan diri, kabur, tapi tak bisa. Ia justru terperosok ke comberan, pingsan.

Sebelum kesadarannya hilang, telinga Abetius masih bisa mendengar caci maki yang dilontarkan massa kepadanya.

Mata Abetius, sebelum terpejam, masih sempat melihat aparat kepolisian yang berdiri di sana, tak mencoba melerai massa yang memukulinya.

Abetius tergeletak tak berdaya. Darah mengucur dari paha dan tangannya. Kepalanya tak seberapa parah, karena dia masih memakai helm.

Sekelompok orang lantas mengevakuasi Abetius ke ambulans bertuliskan RS Bhayangkara.

Jumat, 30 Agustus 2019, situasi di Kota Jayapura mencekam. Ribuan rakyat Papua bergerak, turun ke jalanan untuk memprotes persekusi serta ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan sejumlah daerah lainnya.

Ada pula warga non-Papua berkerumun membentuk kelompok-kelompok yang mendadak mengadang para demonstran dan melakukan penganiayaan.

Hingga kekinian, kelompok-kelompok orang yang melakukan penganiayaan itu masih menjadi misteri.

Para aktivis Papua mengakui, ini kali pertama ada bentrokan antara warga sipil pendatang dengan orang asli Papua.
SUARA ABETIUS WENDA terengah-engah, kadang putus-putus, ketika bercerita detail pengeroyokan massa misterius terhadap dirinya kepada saya melalui sambungan telepon, pekan lalu.

”Apa bapak tahu siapa orang-orang yang mengeroyok itu?” tanya saya.

”Sa tra tau. Sa sudah bilang ka dorang, sa ini dokter, sa baru pulang dinas dari rumah sakit. Tapi dorang tak peduli, dorang tetap hantam sa,” kata Abetius.

”Kapan persisnya kejadian itu?”

”Jumat pagi, pukul 06.00 WIT. Ada polisi di sana, tapi diam.”

Abetius baru saja lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih. Sehari sebelum kejadian, persisnya Kamis (29/8) malam, Abetius hendak pulang ke asrama.

Tapi, kondisi tak memungkinkan. Di luar rumah sakit, situasi Jayapura masih mencekam. Sejumlah kantor jawatan terbakar.

Rakyat Papua masih turun ke jalan, melepas amarah, mengutuk caci-maki rasis oknum TNI dan anggota ormas terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jatim. Alhasil, Abetius memutuskan menginap di RSUD Jayapura malam itu.

“Sa mo pulang ka asrama, ganti pakaian, Jumat pagi itu, karena mau masuk kerja lagi,” kata dia.

Atius, rekan Abetius, pun sama. Jumat pagi yang jahanam itu, ia hendak pulang ke asrama juga untuk berganti pakaian. Atius sudah beberapa hari tak pulang dari RSUD Jayapura, menjaga kerabatnya yang sedang dirawat.

Sama seperti Abetius, Atius juga terluka parah, pahanya terkena tikaman dan kepala robek karena sabetan senjata tajam.

Saat saya menelepon, pekan lalu, Abetius dan Atius masih dirawat di Rumah Sakit Dian Harapan, Jayapura. Sebelumnya, mereka sempat dirawat di RS Bhayangkara selama sehari.

“Sa dipindah ke RS Dian Harapan atas permintaan keluarga. Sekarang sa masih masa pemulihan,” tutur Abetius.

Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat, Yoka Agus Kossay, menuturkan situasi dan kondisi di kota Jayapura serta sejumlah daerah di Papua kekinian belum kondusif.

Ia mengklaim, aparat keamanan semakin represif terhadap warga Papua yang melakukan aksi protes rasialisme. Para aktivis diburu dan ditangkap.

Agus menyayangkan aksi kelompok ormas di Jayapura menyerang balik warga Papua yang sedang berdemonstrasi secara damai di kantor Gubernur Papua beberapa waktu lalu.

Padahal, Agus menegaskan warga Papua tak pernah menganggap orang non-Papua sebagai musuh. Demonstran juga tak pernah menyerang warga pendatang.

“Masyarakat asli Papua tidak menyerang warga non-Papua. Kami sangat menyayangkan warga non-Papua malah menyerang orang-orang Papua,” kata Agus Kossay.

Sebby Sambom, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat—sayap militer Organisasi Papua Merdeka—mengecam aksi penganiayaan tersebut.

“Aksi protes rasisme itu terjadi secara spontanitas. TPNPB-OPM juga kala itu belum bersikap soal persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Jadi kalau pemerintah RI menuding ada kami di balik aksi rakyat itu, adalah salah,” tegasnya.

Ia menuturkan, aksi anti-rasis tersebut benar-benar menghujam jantung pemerintahan RI yang ia sebut sebagai kolonialis. Karenanya, terdapat skenario untuk membentukan rakyat versus rakyat.

“Kami tahu, milisi-milisi sipil warga non-Papua itu bentukan siapa. Ini pola yang sama terjadi di Timor Timur dulu. Kami sudah tahu ini permainan siapa, dan rakyat kami tak terpancing,” kata dia.

Segendang sepenarian, Benny Wenda, Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), juga mengutuk keras penganiayaan tersebut.

“Kami di Papua sudah bertahun-tahun lalu hidup bersama migran-migran secara damai. Kami tidak pernah berperilaku rasis. Tapi perlakuan pemerintah kolonial terhadap bangsa Papua ini berbeda. Kami didiskriminasi, dikriminalisasi, dipenjarakan, karenanya sejak dulu kami menyatakan mau keluar dari Republik Indonesia,” kata dia.

Ia menuturkan, ada dalang di balik kelompok-kelompok sipil yang menamakan diri sebagai Barisan Merah Putih atau Barisan Nusantara.

“Milisi-milisi yang mengatasnamakan warga non-Papua dan mendatangi asrama serta melakukan persekusi terhadap warga di Papua siapa yang memainkan? Perlu dicatat, kami tidak pernah menentang migran-migran Indonesia. Mereka datang dari daerah Indonesia ke Papua untuk mencari kehidupan baik. Ya karena di tanah mereka sendiri tak bisa hidup secara layak.”

“Kami baik-baik saja dengan rakyat Indonesia. Kami punya fight itu bukan ke rakyat Indonesia, but we oppose colonialism. Kami melawan sistem dan pemerintah kolonial. Ini kali pertama terjadi ada warga non-Papua bentrok dengan warga asli Papua, silakan artikan sendiri,” tuturnya.

Wiranto: masih ada provokasi



DI JAKARTA, Menkopolhukam Wiranto menegaskan, situasi kondisi di Papua dan Papua Barat berangsur kondusif.

"Per 9 September ini, laporan yang saya terima seluruh kondisi Papua dan Papua Barat aman dan kondusif, aktivitas kemasyarakatan pun berjalan normal," kata Wiranto, saat membuka rapat koordinasi yang membahas situasi Papua dan Papua Barat.

Namun, Wiranto mengatakan masih ada provokasi, selebaran-selebaran gelap untuk mendorong dan menghasut masyarakat melakukan unjuk rasa susulan.

"Ini kami sudah monitor, dan kami sudah tahu betul siapa-siapa pelakunya itu," tegas Wiranto.

Ia juga menyebutkan, masyarakat Papua dan Papua Barat sudah mulai sadar dan menyesal atas kerusuhan dan perusakan-perusakan yang terjadi beberapa waktu lalu.

"Mayoritas mereka (masyarakat Papua) ternyata tidak menghendaki adanya kerusuhan, pembakaran dan perusakan-perusakan. Banyak yang menyesal itu terjadi, kemudian ada kesadaran untuk mengadakan acara-acara perdamaian dan acara bakar batu yang digelar aparat keamanan," kata dia.

***

PESAWAT MILIK TNI melayang di langit Wamena. Puluhan prajurit para melakukan latihan terjun payung dari pesawat dan mendarat di kampung-kampung.

Ibu-ibu, anak-anak, bahkan lansia panik, kalang kabut. Mereka menangis menemui seorang perempuan bernama Raga Kogaya.

“Hai anak, ini kenapa, ada apa? Ini kita akan dikasih mati kah? Kita sudah trada tempat sembunyi,” sembur seorang mama kepada Raga.

Seorang anak berusia 7 tahun datang bersama mamanya kepada Raga Kogaya. Anak itu datang sembari membawa pakaian yang belum dimasukkan ke dalam tas.

“Mama, saya takut mama, tolong kita ke tempat pater, ayo kita sembunyi sudah,” kata anak itu kepada Raga. Anak tersebut ingin segera ke tempat Pastor John Jonga, yang disebutnya sebagai pater.

“Tenang, ini trada perang. Ini militer latihan,” kata Raga Kogaya menenangkan mereka yang datang kepadanya.

Jejak trauma Nduga

RAGA KOGAYA adalah relawan yang mengurus pengungsi Nduga. Perempuan itu sendiri adalah orang asli Nduga, dan juga pengungsi di Wamena. Dia berasal dari keluarga tokoh masyarakat Nduga.

“Saya sekeluarga dan orang-orang dari Kabupaten Nduga mengungsi di Wamena pascaperang pecah antara aparat gabungan TNI dengan OPM beberapa waktu lalu. Kami mengungsi di sini di rumah kerabat, bahkan ada yang di tenda bantuan,” kata Raga.

Ia menuturkan, warga Wamena, terutama pengungsi dari daerah Nduga, traumatis. Karena itulah, saat TNI mengerahkan 184 prajurit Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari kesatuan Kostrad di Wamena dan Santani, Jayapura pada Rabu (4/9) pekan lalu, para pengungsi panik.

TNI sendiri mengumumkan pengerahan pasukan PPRC itu untuk latihan terjun payung dadakan, untuk meningkatkan profesionalitas prajurit dan membantu menjaga keamanan.

Para pengungsi tidak mengetahui informasi soal situasi di Papua belakangan ini. Sebab mereka hidup di sana tanpa televisi, tidak ada listrik.

Raga menceritakan, para pengungsi dari Nduga itu sangat trauma pascamelihat seorang warga mati ditembak di Puncak beberapa waktu lalu.

Raga menambahkan, sudah sepekan sekolah di Wamena diliburkan. Anak-anak masih trauma melihat aparat patroli keliling kampung.

“Sudah beberapa hari ini anak-anak ada yang sekolah dan ada yang libur. Saya yang mengurus sekolah anak-anak pengungsi, saya kasih libur. Saya lihat situasi sampai tenang dulu, baru kasih sekolah lagi, karena anak-anak masih ketakutan,” tuturnya.

Nasib tak tentu

TOKOH GEREJA sekaligus pegiat HAM Pegunungan Tengah Papua, Peter John Jonga, mengungkapkan kekinian setidaknya warga Nduga yang mengungsi di Wamena tersebar di 42 titik.

Pada setiap titik, warga pengungsi ada sebanyak 30 hingga 60 jiwa. Mereka menumpang di rumah-rumah kerabat, ada yang ditenda-tenda dan di bangunan bekas tidak terpakai.

Ia mengatakan, para pengungsi semakin trauma dan ketakutan dengan bertambahnya aparat TNI dan Brimob yang datang ke Wamena.

Pastor Jonga menuturkan, kondisi pengungsi sangat memprihatinkan, mereka kesulitan makanan dan kelaparan.

“Situasinya sekarang seperti pembiaran oleh negara, ini sangat berbahaya. Selain banyaknya pelanggaran HAM, warga dibiarkan dalam kondisi ketakutan dan kelaparan,” kata Peter John kepada saya via sambungan telepon, Senin (9/9/2019).

Sudah hampir setahun warga Nduga meninggalkan kampung halamannya, dan mengungsi ke Wamena.

Kekinian, kata dia, Nduga diduduki oleh aparat militer, sehingga warga yang ingin kembali ke kampung halamannya tidak berani.

“Ini dampak pendekatan keamanan di Nduga. Katanya mau mengejar Egianus Kagoya (pemimpin TPNPB-OPM di Nduga), sudah seribuan pasukan dikerahkan, tetapi tidak pernah tertangkap juga. Ini sebenarnya tujuannya apa. Sementara warga semakin trauma dengan bertambahnya pasukan TNI dan Brimob yang datang ke sini,” ujar dia.

Selain itu, yang lebih parah adalah bayi dan anak-anak pengungsi Nduga kelaparan dan mengalami gizi buruk.

Sejak September 2018 hingga sekarang, terdapat sebanyak 220-an bayi dan anak-anak meninggal dunia karena gizi buruk.

“Baru hari Minggu kemarin ada 3 bayi berusia dua minggu meninggal, karena kondisi gizi buruk dan minim makanan,” kata Pater John.

Tak hanya itu, sudah beberapa hari ke belakang, anak-anak pengungsi Nduga di Wamena tidak bisa sekolah. Selain trauma, guru-guru yang berstatus pegawai negeri sipil tidak datang mengajar.

“Guru-guru PNS tidak mau datang ke sekolah untuk mengajar anak-anak, katanya dilarang. Tidak tahu siapa yang melarang. Sekarang cuma ada satu, dua guru relawan.” (su)
Halaman berikutnya:



Video menarik lainnya:

Subscribe to receive free email updates:

Data Covid-19 Update