100 Hari Jokowi: Ikhtiar Menyehatkan BPJS Kesehatan


Johanna (57), warga Ciracas, Kota Serang, Banten, kaget tiba-tiba didatangi seseorang mengaku petugas BPJS Kesehatan pada akhir tahun lalu dan menagih tunggakan BPJS Kesehatan sekitar Rp 1 juta. Johanna yang hanya penjaga sekolah SD, jangan kan membayar iuran BPJS Kesehatan Rp 1 juta, makan siang pun tak selalu ada lauk.

Lain Johanna, lain yang dialami seorang ibu di Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Saat mengantar anaknya ke rumah sakit, dia ditolak rumah sakit karena ada tagihan BPJS Kesehatan yang harus dilunasi. Jika anaknya ingin diobati, maka tunggakan berikut dendanya harus dibayar saat itu juga.

Sakit yang merundung keuangan BPJS Kesehatan, masih jadi masalah hingga 100 hari Jokowi. Salah satunya dipicu salah urus yang membuat tunggakan utang BPJS Kesehatan menjadi Rp 14 triliun di 2019. Gara-gara utang itu pula iuran BPJS Kesehatan naik mulai 1 Januari 2020 dan membuat setidaknya 800 ribu peserta memilih turun kelas.

Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR, menyoroti masalah BPJS Kesehatan menjadi salah satu masalah yang membuat rapot kerja Presiden Jokowi di 100 hari kerja belum memuaskan.

Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, menjelaskan ada tiga program utama pemerintah dalam bidang kesehatan, yang harus jadi PR Menteri Kesahatan, Terawan. Yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penurunan angka stunting, dan pemenuhan obat-obatan serta alat kesehatan.

"Walau kelihatan sederhana, ketiga program itu tidaklah mudah untuk dikerjakan. Perlu kerja keras dan kesungguhan dari semua pihak yang terkait," ucap Saleh kepada kumparan, Jumat (31/1).

Soal jaminan kesehatan, Saleh menyebut masih terdapat defisit anggaran yang cukup besar pada akhir tahun 2019 mencapai Rp 32 triliun. Angka ini tentu menyulitkan pemerintah.

“Di tengah kontroversi defisit tersebut, pemerintah mengambil kebijakan yang dinilai kurang populer dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi seluruh kelas. Kenaikannya tidak tanggung-tanggung. Mencapai 100 persen. Ini tentu sangat menyulitkan masyarakat."

Apalagi, kata Saleh, ada 19,9 juta orang warga negara Indonesia yang Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Mereka tentu sangat kesulitan dengan adanya kenaikan itu.

Selain persoalan defisit anggaran, kata Saleh, persoalan BPJS kesehatan yang lain adalah pelayanan. Adalah fakta belaka bahwa banyak masyarakat yang masih berkeluh kesah dengan pelayanan yang diberikan.

"Ada yang mengaku merasa dinomorduakan. Ada yang merasa pelayanannya tidak sebaik yang diberikan pada peserta non-BPJS Kesehatan. Ada juga yang mengatakan bahwa sistem rujukan yang diterapkan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan," tutur Wakil Ketua Fraksi PAN itu.

Masalah lain, masyarakat juga masih banyak yang mempersoalkan data kepesertaan BPJS Kesehatan. Terutama data peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran). Pasalnya, banyak di antara mereka yang merasa layak, tetapi kenyataannya tidak masuk dalam data PBI.

"Begitu juga sebaliknya, banyak di antara peserta PBI itu yang tidak layak, tetapi dimasukkan. Tidak jarang ini menyebabkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat," terang mantan Ketum PP Muhammadiyah itu.

Program lain, penurunan stunting, dinilai masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Penelitian menyimpulkan masih banyak anak yang divonis stunting. Tidak hanya di Indonesia Timur dan daerah terpencil, tetapi juga di kota besar di wilayah Indonesia Barat.

“Saya melihat bahwa program penangan stunting belum terkoordinasi secara integratif. Mestinya ini dikerjakan secara bersama oleh pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu, ada tanggung jawab semua pihak dalam perang melawan stunting ini," lanjut Saleh.

Begitu juga program pengadaan obat dan alat kesehatan. Pemerintah dinilai masih belum mampu memenuhi kebutuhan obat dan alkes secara memadai. Terbukti, ada banyak RSUD yang tidak bisa menerima pasien dikarenakan peralatannya tidak cukup.

“Kadang-kadang peralatannya lengkap, tetapi dokternya tidak ada. Ada juga yang dokternya ada, tetapi peralatannya tidak ada.”

Terkait ketersediaan tenaga medis juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Indonesia secara umum masih kekurangan dokter-dokter spesialis dan sub-spesialis. Sementara, penderita penyakit katastropik semakin banyak dan perlu ditangani oleh dokter spesialis atau sub-spesialis.

“Konsekuensinya, rumah-rumah sakit sering merujuk ke rumah sakit lainnya. Akibatnya, ada pasien di rumah sakit tertentu yang harus mengantre setahun lebih sebelum diambil tindakan. Inikan sangat ironis," kritik anggota DPR asal Sumut itu.

"Dalam konteks ini, pemerintah sudah sewajarnya bekerja keras dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga medis. Terutama kebutuhan tenaga medis di daerah terpencil dan perbatasan. Diperlukan dokter-dokter yang rela mengabdi di daerah terpencil atas dasar prinsip kemanusiaan," saran Saleh Daulay. (ku)

Subscribe to receive free email updates:

Data Covid-19 Update