4 Kejanggalan PSBB yang Diumumkan Jokowi


"Berbelit dan muter-muter," kata Roy Suryo mengomentari kebijakan baru Presiden Jokowi yang dulu menyinggung lockdown, kemudian karantina wilayah, kini berubah menjadi Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB).


Apa itu?

PSBB secara umum sama saja dengan lockdown atau karantina wilayah, karena maknanya sama: 'pembatasan kegiatan penduduk'. Keduanya diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018.

Namun, karantina wilayah batal diumumkan pemerintah karena jika diterapkan, pemerintah wajib memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk pakan ternak.


Pasal 55

(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat

Tapi PSBB yang diumumkan Presiden Jokowi kemarin bukan berarti tanpa masalah. Berikut 4 kejanggalan PSBB:

1. Tanpa Status KKM

Penetapan PSBB untuk mencegah corona merujuk UU Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018. Karena itu semua ketentuan mengikuti aturan tersebut.

Nah, Jokowi dinilai offside karena dalam UU itu, sebelum menetapkan PSBB, Jokowi harus lebih dulu menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM). Artinya, mobilitas penduduk bisa dibatasi pemerintah jika ada status KKM.

Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan." Pasal 49 UU tersebut

"KKM ini ditetapkan atau dicabut oleh pemerintah pusat , dalam hal ini Presiden," kata Praktisi Hukum Publik, Mas Achmad Santosa, dalam keterangannya kepada kumparan. Senin (30/3).

2. Ditetapkan Menkes, Bukan Presiden

Masih dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, PSBB sebagai respons atas status KKM, harusnya ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam hal ini dr Terawan, bukan Presiden Jokowi.

"Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar ditetapkan oleh menteri." - Pasal 49 Ayat 3.

(Ketentuan Umum UU: Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan).

"Kita terapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin dan lebih efektif lagi. Sehingga juga saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas (ratas) lewat telekonferensi video soal pengendalian corona di Istana, Senin (30/3).

Belum ada penjelasan mengapa bukan menkes yang menetapkan PSBB. Namun yang menarik lagi, pengumuman PSBB itu, Presiden Jokowi didahului oleh jubir Fadjroel Rachman melalui Twitter, saat rapat belum selesai.

Lucunya, Fadjroel sempat salah membuat cuitan sebelum akhirnya diganti, kemudian dikutip media, lalu barulah Jokowi bicara.

3. Diumumkan Sebelum PP Terbit

Dalam UU yang sama, kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) tidak bisa hanya retorika diumumkan Presiden atau juru bicara, tapi harus ada landasan hukumnya lebih dulu.

Dalam Pasal 60 Kekarantinaan Kesehatan itu, landasan hukum PSBB adalah Peraturan Pemerintah (PP).

"Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar diatur dengan Peraturan Pemerintah."

Tapi ternyata PP itu belum terbit sehingga PSBB belum berlaku. Buktinya, aktivitas perkantoran yang harusnya tutup sebagai syarat PSBB masih berlangsung hari ini.

Belum ada pernyataan pemerintah sudah menerbitkan PP PSBB. Begitu juga di website Sekretariat Negara tidak ditemukan PP dimaksud.

4. Singgung Darurat Sipil

Kejanggalan lain yang memicu kritik luas adalah kebijakan PSBB didampingi dengan darurat sipil.

"Perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas (ratas) lewat telekonferensi video soal pengendalian corona di Istana, Senin (30/3).

Salah satu kritik atas opsi darurat sipil itu karena Indonesia sedang menghadapi wabah corona, bukan sedang perang.

"Kami tidak berharap adanya Darurat Sipil, karena berbagai pengalaman buruk dalam HAM ketika penetapan Darurat Sipil pernah terjadi.

Kekerasan dan penggunaan kewenangan berlebihan sering terjadi," tutur Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, kepada kumparan, Selasa (31/3). (ms)

Subscribe to receive free email updates:

Data Covid-19 Update